Search-form

Kisah dan Sejarah Hukuman Pancung

Banyak diantara kita yang bertanya-tanya, mengapa sampai terjadi hukuman sadis seperti itu? Setelah muncul berita tentang TKW Indonesia yang dihukum pancung di Arab Saudi beberapa waktu lalu. Berikut ini akan menjawab rasa penasaran kita akan kisah dan sejarah hukuman pancung tersebut di dunia.


Sesuai dengan syariat Islam yang berlaku sampai saat ini, Negara Arab Saudi masih menerapkan hukum pancung terhadap terpidana mati kasus pembunuhan. Eksekusi bisa batal, jika keluarga korban memaafkan dan pelaku diharuskan membayar diyat (uang pengganti) yang ditetapkan oleh keluarga korban.

Syariat Islam memerintahkan hukuman mati dilaksanakan dengan cara dipenggal, bukan digantung atau ditembak. Sebelumnya, Saudi pernah menerapkan hukuman mati dengan cara ditembak. 


Sejarah Hukuman Pancung
 

Hukuman pancung memiliki sejarah yang sangat panjang dan sulit diperkirakan asal usulnya, karena seperti hukuman gantung, hukuman pancung merupakan metode hukuman mati yang murah dan praktis, dimana eksekusi hanya membutuhkan sebilah pedang atau sebuah kapak saja.

Di Inggris ada anggapan, bahwa hukuman pancung merupakan hak istimewa para pria terhormat. Hukuman pancung ini akan membedakan seseorang dari terdakwa lainnya yang dihukum dengan cara yang tidak terhormat (keji), yaitu dengan dibakar secara hidup-hidup di atas tumpukan kayu.


Hukuman pancung secara luas digunakan di Eropa dan Asia sampai abad ke-20. Dan saat ini, hanya Arab Saudi dan Iran yang masih menggunakan metode hukuman mati seperti ini. Qatar dan Yaman pun sebenarnya melegalkan hukuman mati dengan metode seperti ini, namun sampai saat ini belum ada eksekusi dengan metode ini yang dilaporkan. Hukuman pancung berlaku di Inggris sampai dengan tahun 1747 dan merupakan metode hukuman mati standar di Norwegia sampai saat dihapuskan pada tahun 1905, Swedia (sampai tahun 1903), Denmark (sampai tahun 1892), dan digunakan untuk beberapa kelas tahanan di Prancis (sampai penggunaan Guillotine di tahun 1792), serta di Jerman sampai dengan tahun 1938. 

Semua negara-negara Eropa yang sebelumnya menggunakan hukuman pancung, sekarang telah benar-benar menghapuskan metode hukuman mati dengan cara ini.


Eksekusi Hukuman Pancung

  
Pada hukuman pancung, terdakwa yang akan dieksekusi biasanya ditutup matanya, sehingga mereka tidak dapat melihat pedang atau kapak yang datang menebas leher mereka, agar mereka tidak dapat menghindar atau mengelak.

Terkadang, dibutuhkan seorang asisten algojo untuk memegang rambut terdakwa yang akan dieksekusi, guna mencegah mereka agar tidak bergerak. Hasil eksekusi hukuman pancung adalah pendarahan ekstrim, seperti ledakan darah dari arteri dan vena yang terputus dari leher.

Hukuman pancung dapat dikatakan sebagai metode eksekusi yang manusiawi, jika dilakukan dengan benar, dimana hanya dibutuhkan cukup satu tebasan untuk memenggal kepala. Namun, karena otot dan tulang leher yang alot dan sulit dipotong, hukuman pancung biasanya memerlukan lebih dari satu tebasan pedang.

Kesadaran mungkin akan hilang dalam waktu 2-3 detik, karena suplai darah ke otak hilang secara cepat. Orang yang dieksekusi akan meninggal, karena otak tidak mendapat suplai darah dan oksigen, serta perdarahan dan kehilangan tekanan darah dalam waktu kurang dari 60 detik. Kematian juga terjadi karena pemisahan otak dan sumsum tulang belakang, selain karena perdarahan besar-besaran yang terjadi.

Sering terjadi dimana mata dan mulut orang yang di eksekusi menunjukkan tanda-tanda gerakan. Hal ini dapat terjadi, karena otak manusia memiliki cadangan oksigen yang cukup untuk metabolisme cadangan dan dapat dipakai untuk bertahan selama sekitar 7 detik setelah kepala terputus.


Sumber :