Hal tersebut dikemukakan SST.Wisnu Sasongko, pakar
bahasa dari Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa RI, pada acara
pemantauan dan sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik, yang
digelar di hotel Rahmat Gorontalo, Rabu (9/11/2011).
Menurut dia, bahasa alay ditemukan pada naskah bertuliskan huruf Jawa kuno, yang berjudul "Angling Dharma".
Dalam naskah itu, kata ratu ditulis dengan menggunakan kata "Ro"
sebanyak tujuh kali sehingga terbaca sebagai ratu. Padahal jika merujuk
pada tata bahasa jawa kuno, semestinya kata ratu ditulis dengan
menggunakan "Ro", "To" dan "Wulu".
"Kalau hanya ditulis dengan Ro
sebanyak tujuh kali, maka artinya menjadi tujuh atau pitu sehingga
terbaca ’R’ dan ’Tu’," jelasnya.
Untuk itu, menurutnya, bahasa
alay senantiasa ada setiap zaman, namun hal itu tidak perlu
dikhawatirkan dapat merusak tatanan bahasa Indonesia. "Sifatnya hanya
sementara, tidak akan bertahan lama," Kata dia.
Acara pemantauan
dan sosialisasi penggunaan bahasa di ruang publik, diikuti oleh
wartawan, penyiar radio, serta staf humas sejumlah instansi
pemerintahan di Gorontalo.
Dalam kesempatan itu, Badan Bahasa
juga menyosialisasikan undang-undang RI nomor 24 tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa dan Lambang Negara serta Lagu Kebangsaan.
Sumber :
Kompas.com